Celoteh di Pagi Hari: Suara Hati yang Tak Terbendung

Seorang duduk di beranda rumah sambil menikmati kopi pagi, sinar matahari menyinari wajahnya, menciptakan suasana tenang dan penuh harapan.
Seorang pria duduk di sebuah Cafe sambil menikmati kopi, menciptakan suasana tenang dan penuh harapan. ( Foto : Ilustrasi ).

MUSI BANYUASIN ( INFO KOTA SEKAYU )

Setiap pagi, dunia seperti kembali ditata ulang. Langit berganti warna dari gelap ke jingga, embun menetes pelan di ujung dedaunan, dan suara alam perlahan menggantikan sunyi malam. Di saat seperti inilah, ada ruang kosong yang hanya bisa diisi oleh satu hal: celoteh hati.

Celoteh di pagi hari bukan tentang kata-kata mewah atau ungkapan indah yang disengaja. Ia muncul begitu saja—tanpa naskah, tanpa sensor. Mungkin hanya berupa gumaman dalam hati, komentar kecil terhadap kehidupan, atau refleksi jujur dari seorang diri yang tengah mencari makna di tengah keruwetan dunia.

Pagi: Waktu yang Jujur

Pagi adalah waktu yang paling jujur. Ia tidak banyak menuntut. Ia hanya menyapa, membuka hari dengan lembut, dan memberi kita kesempatan untuk memulai dari awal. Tidak peduli bagaimana hari kemarin berakhir—apakah dengan tangis, tawa, atau kelelahan—pagi tak pernah memarahi. Ia hanya datang seperti biasa.

Dan di waktu inilah, sering kali kita berceloteh. Tentang harapan, tentang rasa syukur, tentang kegelisahan, bahkan tentang hal-hal sepele yang terpendam. Celoteh itu bisa muncul saat menyeduh kopi, saat duduk di beranda, atau hanya saat diam memandang langit. Ia bukan hanya curahan hati, tapi kadang juga semacam percakapan sunyi dengan Tuhan.

Celoteh yang Kadang Tak Pernah Didengar

Banyak dari celoteh pagi itu tak pernah dituliskan, apalagi diucapkan. Ia hanya lewat begitu saja, seperti angin. Tapi jangan salah, meskipun tak terdengar, ia tetap punya kekuatan. Karena sering kali, dari celoteh yang sunyi itulah kita menemukan arah. Kita tahu apa yang harus dilakukan. Kita menguatkan diri. Kita memaafkan masa lalu.

Pagi adalah ruang yang lembut bagi jiwa yang luka. Ia tak menghakimi. Ia tak menyuruh kita buru-buru. Ia hanya menawarkan satu hal: kesempatan.

Tentang Rindu, Tentang Doa

Di banyak pagi, celoteh kita tak jauh-jauh dari rindu. Rindu pada seseorang, pada masa lalu, pada versi diri yang lebih tenang. Kadang pula, celoteh itu berupa doa. Doa dalam bentuk harapan kecil: semoga hari ini lebih baik, semoga urusan lancar, semoga hati tetap kuat.

Dan entah kenapa, pagi selalu memberi harapan baru. Meski hidup sedang sulit, pagi seolah memberi bisikan, “Kamu masih punya waktu. Ayo, coba lagi.” Dan bisikan itu cukup untuk membuat kita bangkit.

Menghargai Celoteh yang Sederhana

Kita hidup di dunia yang terlalu bising—dengan tuntutan, informasi, dan komentar. Tapi pagi memberi ruang bagi celoteh yang sederhana, yang justru paling jujur. Tak perlu status panjang di media sosial. Tak perlu pembenaran. Hanya suara hati yang berbicara pada diri sendiri.

Mungkin itulah kenapa banyak orang suka menulis di pagi hari. Karena di waktu itu, pikiran masih murni, hati masih bersih, dan celoteh kita belum terkontaminasi dunia luar.

Celoteh di pagi hari adalah refleksi kecil tentang betapa berharganya waktu yang kita miliki. Ia bukan hanya soal kata-kata, tapi juga soal kesadaran bahwa kita masih hidup. Masih bisa mencoba, memperbaiki, mencintai, dan bersyukur.

Jadi, jangan anggap remeh celoteh pagi. Bisa jadi, di sanalah suara hati kita sebenarnya sedang menunjukkan jalan.

(Redaksi — Info Kota Sekayu)

Redaksi
Redaksi INFO KOTA SEKAYU

Post a Comment for "Celoteh di Pagi Hari: Suara Hati yang Tak Terbendung"