SK Kemenkumham Menggugat Negara Hukum: Putusan Mahkamah Agung Tak Lagi Bermakna

Dr. Ipong Hembing Putra Ketua Umum Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Panglima Cheng Ho Indonesia
Dr. Ipong Hembing Putra Ketua Umum Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Panglima Cheng Ho Indonesia. ( Foto : 1st — info kota sekayu )

Opini Hukum Oleh: Dr. Ipong Hembing Putra Ketua Umum Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)
Panglima Cheng Ho Indonesia

JAKARTA ( INFO KOTA SEKAYU )

Kasus Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) bukan semata sengketa merek, melainkan alarm keras bagi kondisi negara hukum di Indonesia. Ketika putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dapat dikesampingkan oleh sebuah keputusan administratif, maka yang runtuh bukan hanya keadilan, tetapi juga kepercayaan publik terhadap sistem hukum nasional.

Dua putusan perdata—dari Pengadilan Niaga dan diperkuat oleh Mahkamah Agung—secara tegas menetapkan kepemilikan merek PITI. Namun, fakta hukum tersebut justru dipatahkan oleh terbitnya Surat Keputusan (SK) Kementerian Hukum dan HAM. Tindakan ini bertentangan dengan logika hukum serta melabrak hierarki peraturan perundang-undangan.

Jika praktik seperti ini dianggap wajar, maka proses peradilan kehilangan maknanya. Hakim hanya menjadi pelengkap formalitas, sementara keadilan ditentukan oleh kekuasaan administrasi yang bebas menabrak putusan inkracht.

Inilah bentuk pembangkangan institusional yang berbahaya. Negara tidak boleh membiarkan birokrasi berdiri di atas konstitusi dan peradilan. Kasus PITI menjadi cermin bahwa hukum sedang berada dalam kondisi tidak sehat. Dan ketika hukum sakit, yang terancam bukan satu organisasi, melainkan seluruh warga negara.

Putusan pengadilan yang inkracht adalah kebenaran hukum final. Ia mengikat semua pihak, termasuk lembaga eksekutif. Tidak ada ruang tafsir, tidak ada ruang kompromi.

Namun, SK Kemenkumham dalam perkara PITI justru berjalan berlawanan. Ia meniadakan apa yang telah diputus sah oleh peradilan. Tindakan ini bukan sekadar kesalahan prosedural, melainkan pengkhianatan terhadap asas kepastian hukum.

Jika putusan Mahkamah Agung dapat disingkirkan, maka tidak ada jaminan bahwa putusan lain tidak akan bernasib sama. Negara sedang mengirim pesan berbahaya: vonis hakim bisa dikalahkan oleh meja birokrasi.

Logo dan merek PITI bukan sekadar simbol grafis. Ia merupakan identitas hukum, sejarah, dan eksistensi sosial komunitas Islam Tionghoa di Indonesia. Merampas logo berarti merampas pengakuan negara atas keberadaan komunitas tersebut.

Negara seharusnya melindungi identitas warganya, bukan justru mencabutnya melalui mekanisme administratif yang cacat legitimasi. Dalam konteks ini, SK Kemenkumham bukan tindakan netral, melainkan kebijakan yang berdampak langsung pada hak konstitusional warga negara.

Lebih mengkhawatirkan, jalur Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) digunakan sebagai pintu belakang untuk menghidupkan kembali perkara yang telah kalah secara perdata. PTUN sejatinya menguji aspek prosedural administrasi, bukan membatalkan kebenaran hukum yang telah ditetapkan peradilan umum.

Ketika PTUN dijadikan alat untuk menabrak putusan inkracht, maka terjadi tabrakan rezim hukum tanpa kendali. Praktik ini menciptakan preseden buruk dan membuka ruang manipulasi hukum. Hukum pun berubah dari sistem keadilan menjadi arena siasat kekuasaan.

Dalam situasi ini, Presiden Republik Indonesia tidak boleh berdiam diri. Presiden memiliki mandat konstitusional untuk memastikan seluruh organ eksekutif tunduk pada hukum.

Membiarkan SK yang menabrak putusan Mahkamah Agung sama dengan membiarkan pembangkangan hukum di dalam pemerintahan. Diamnya Presiden berpotensi ditafsirkan sebagai pembiaran, bahkan persetujuan diam-diam.

Demikian pula DPR RI, khususnya Komisi III, memiliki tanggung jawab konstitusional dalam fungsi pengawasan. Komisi III wajib memanggil Menteri Hukum dan HAM secara terbuka untuk meminta pertanggungjawaban atas terbitnya SK yang bertentangan dengan putusan pengadilan.

Jika DPR memilih diam, maka pengawasan hanya tinggal slogan demokrasi. Rakyat berhak melihat wakilnya berdiri di sisi hukum, bukan di balik birokrasi yang melanggarnya.

Hari ini yang dirampas adalah logo PITI. Esok bisa tanah adat, lusa aset usaha, dan pada akhirnya hak sipil warga negara biasa. Preseden ini terlalu berbahaya untuk dibiarkan tumbuh dan mengakar.

Negara hukum runtuh bukan karena kekurangan undang-undang, melainkan karena ketiadaan keberanian menegakkan putusan hakim. Jika tidak dihentikan, praktik ini akan menjadi pola sistemik.

Membatalkan SK Kemenkumham bukan tindakan politis, melainkan kewajiban konstitusional. Administrasi negara wajib menyesuaikan diri dengan putusan pengadilan, bukan sebaliknya.

Mengembalikan merek dan logo PITI adalah konsekuensi hukum yang tidak bisa ditawar. Ini langkah minimal untuk memulihkan kepercayaan publik. Tanpa itu, hukum hanya tinggal teks tanpa makna.

Kasus PITI menempatkan negara di persimpangan sejarah: membela supremasi hukum, atau membiarkan administrasi mengalahkannya.

Tidak ada stabilitas tanpa kepastian hukum, tidak ada keadilan tanpa penghormatan terhadap putusan hakim, dan tidak ada negara hukum jika SK lebih sakti dari vonis pengadilan.

Presiden dan DPR Komisi III masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Kesempatan itu bernama keberanian membatalkan SK yang melawan hukum.

Mengembalikan logo PITI bukan hadiah, melainkan hak yang dirampas. Jika kesempatan ini dilewatkan, sejarah akan mencatatnya sebagai pembiaran, dan publik berhak menarik satu kesimpulan pahit: hukum di Indonesia telah dikalahkan oleh kebijakan.
Redaksi
Redaksi INFO KOTA SEKAYU

Post a Comment for "SK Kemenkumham Menggugat Negara Hukum: Putusan Mahkamah Agung Tak Lagi Bermakna"